Pages

Selasa, 16 Juli 2013

Elesan Deq a Tutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti)



                              Elesan Deq a Tutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti)


tokoh dalam filem elesan deq a tutuq


Sinopsis
Filem Elesan Deq a Tutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti) sebuah kisah dari desa Pemenang di Lombok Utara tentang seorang Tuan Guru. H. Amir mendapat 'label' Tuan Guru dari turunan kakeknya yang juga seorang Tuan Guru.  Nilai tradisi leluhur dan makna Tuan Guru yang melekat pada diri H. Amir menjadi panutan di dalam sosial masyarakat Lombok. Ajaran agama yang di pimpin di rumahnya, membawa dirinya memilki banyak jamaah. Cerita dan ingatan tentang daerah di Lombok menjadi refleksi bagi seorang pemuda lokal (Imam Hujattul Islam) yang gemar melukis dimana dirinya sedang mencari jati diri, walaupun sebenarnyasi pemuda juga mempunyai garis keturunan Tuan Guru. Filem ini juga melihat bagaimana Gili Trawangan sekarang yang dikenal dunia sebagai objek wisata menakjubkan dari salah satu 3 Gili.
Tentang Film
Filem  Elesan Deq a Tutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti)  merupakan sebuah filem feature dokumenter panjang yang bercerita tentang seorang Tuang Guru. Tokoh Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam masyarakat. Kehidupan agama dan syarat tradisi menempel dalam berprilaku Tuan Guru dalam beraktifitas ke masyarakatnya. Sosok lainnya, ada seorang pemuda yangmana juga keturunan Tuan Guru berusaha untuk berjuang dalam mencari 'hidup'. Mulai dari berkesenian dan kegiatan agama pernah diikutinya. Dirinya pun juga berada di 'lingkungan' tradisi Tuan Guru. Filem ini berusaha untuk memotret kehidupan Tuan Guru dan Kota Lombok Utara yang dikenal sebagai kota pariwisata dimana temuan tradisi-tradisi lokal sudah bercampur dengan modernitas.
Produksi
Produksi filem ini berlangsung selama  2 minggu, hasil dari sebauh Kolaborasi Forum Lenteng, Jakarta dan Pasir Putih, Lombok. Proses produksi filem ini berlokasi di desa Pemenang, Pusuk, Bangsal dan Gili Trawawangan-Lombok Utara. Produksi film ini merupakan bagian program up-grading  Akumassa sebagai bentuk peningkatan kapasitas komunitas jejaring Akumassa yang diprakarasai oleh Forum Lenteng. Program Akumassa adalah bagian dari program Forum Lenteng yang memfokuskan diri pada pemberdayaan komunitas-komunitas di berbagai daerah di Indonesia melalui pendekatan media literacy. Program ini telah berjalan selama 3 tahun lebih dan telah melakukan pendampingan kepada 10 komunitas (Jakarta, Ciputat-Tangerang Selatan, Lebak, Cirebon, Padang Panjang, Blora, Surabaya dan Pemenang-Lombok Utara). Aktivitas Akumassa dapat dilihat di www.akumassa.org.
Pernyataan Sutradara
Masuknya penyebaran Islam di Indonesia bisa di tandai awanya mulai abad ke 15 hingga 16. Sebutan mubaligh atau penyebar agama bisa di kategorikan beberapa nama, yakni, syekh, kyai, ustadz, penghulu dan tuan guru. Istilah untuk yang terakhir, Tuan Guru, masuk di Lombok  mungkin bisa di telusuri  ketika abad ke 18. Istilah Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan dan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam masyarakat. Di tahun 2012, Syaiful Anwar berkesempatan mendatangi desa Pemenang di Lombok Utara. Selama kurang lebih dua minggu saya membuat feature dokumenter bersama dengan komunitas lokal (Pasir Putih). Selama produksi di sana banayak catatan mengenai tentang konsepsi Tuan Guru. Tuan Guru yang pada awalnya seorang ulama dengan memegang nilai tradisi agung leluhur mungkin kini sudah agak sedikit bergeser secara fungsi kedudukannya. Tak lagi hanya memimpin umat dalam mengajarkan agama tetapi dalam filem ini juga memperlihatakan keterlibatan seorang Tuan Guru dalam memimpin acara aneka lomba anak di desanya. Menonton filem di komputer hingga bermain HP sambil mengaji membuat filem ini mencoba berusaha mendefinisikan kembali arti Tuan Guru. Filem ini juga melihatkan bagaimana seorang pemuda lokal yang juga mempunyai silsilah keturunan Tuan Guru. Lombok yang menjadi objek wisata dunia membuatnya lebih memilih menjadi pelukis dibanding harus mengikuti leluhurnya. Latar tempat macam berugaq, menjadi tempat perbincangan sosial mengenai keadaan di Lombok waktu lampau dan sekarang.  Hadirnya kebudayaan tradisi lokal acara nikahan (Mendjojo) juga dihadirkan dalam filem ini, yangmana sedikit sudah bercampur dengan modernitas. Salah satu hal yang memungkinkan membuat si Tuan Guru sekarang di Lombok Utara memiliki sikap lebih modernis, tidak tradisionalis.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More