Elesan Deq a Tutuq (Jejak Yang
Tidak Berhenti)
tokoh dalam filem elesan deq a tutuq |
Sinopsis
Filem Elesan Deq a Tutuq
(Jejak Yang Tidak Berhenti) sebuah kisah dari desa Pemenang di Lombok Utara
tentang seorang Tuan Guru. H. Amir mendapat 'label' Tuan Guru dari turunan
kakeknya yang juga seorang Tuan Guru.
Nilai tradisi leluhur dan makna Tuan Guru yang melekat pada diri H. Amir
menjadi panutan di dalam sosial masyarakat Lombok. Ajaran agama yang di pimpin
di rumahnya, membawa dirinya memilki banyak jamaah. Cerita dan ingatan tentang
daerah di Lombok menjadi refleksi bagi seorang pemuda lokal (Imam Hujattul
Islam) yang gemar melukis dimana dirinya sedang mencari jati diri, walaupun
sebenarnyasi pemuda juga mempunyai garis keturunan Tuan Guru. Filem ini juga
melihat bagaimana Gili Trawangan sekarang yang dikenal dunia sebagai objek
wisata menakjubkan dari salah satu 3 Gili.
Tentang Film
Filem Elesan
Deq a Tutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti)
merupakan sebuah filem feature dokumenter panjang yang bercerita tentang
seorang Tuang Guru. Tokoh Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam
struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas
pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan
kharismanya dalam masyarakat. Kehidupan agama dan syarat tradisi menempel dalam
berprilaku Tuan Guru dalam beraktifitas ke masyarakatnya. Sosok lainnya, ada
seorang pemuda yangmana juga keturunan Tuan Guru berusaha untuk berjuang dalam
mencari 'hidup'. Mulai dari berkesenian dan kegiatan agama pernah diikutinya.
Dirinya pun juga berada di 'lingkungan' tradisi Tuan Guru. Filem ini berusaha
untuk memotret kehidupan Tuan Guru dan Kota Lombok Utara yang dikenal sebagai
kota pariwisata dimana temuan tradisi-tradisi lokal sudah bercampur dengan
modernitas.
Produksi
Produksi filem ini berlangsung
selama 2 minggu, hasil dari sebauh
Kolaborasi Forum Lenteng, Jakarta dan Pasir Putih, Lombok. Proses produksi
filem ini berlokasi di desa Pemenang, Pusuk, Bangsal dan Gili
Trawawangan-Lombok Utara. Produksi film ini merupakan bagian program up-grading
Akumassa sebagai bentuk peningkatan kapasitas komunitas jejaring
Akumassa yang diprakarasai oleh Forum Lenteng. Program Akumassa adalah bagian
dari program Forum Lenteng yang memfokuskan diri pada pemberdayaan
komunitas-komunitas di berbagai daerah di Indonesia melalui pendekatan media
literacy. Program ini telah berjalan selama 3 tahun lebih dan telah
melakukan pendampingan kepada 10 komunitas (Jakarta, Ciputat-Tangerang Selatan,
Lebak, Cirebon, Padang Panjang, Blora, Surabaya dan Pemenang-Lombok Utara).
Aktivitas Akumassa dapat dilihat di www.akumassa.org.
Pernyataan Sutradara
Masuknya
penyebaran Islam di Indonesia bisa di tandai awanya mulai abad ke 15 hingga 16.
Sebutan mubaligh atau penyebar agama bisa di kategorikan beberapa nama, yakni,
syekh, kyai, ustadz, penghulu dan tuan guru. Istilah untuk yang terakhir, Tuan
Guru, masuk di Lombok mungkin bisa di
telusuri ketika abad ke 18. Istilah Tuan
Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat Sasak.
Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan dan keislaman
yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam
masyarakat. Di tahun 2012, Syaiful Anwar berkesempatan mendatangi desa Pemenang
di Lombok Utara. Selama kurang lebih dua minggu saya membuat feature dokumenter
bersama dengan komunitas lokal (Pasir Putih). Selama produksi di sana banayak catatan
mengenai tentang konsepsi Tuan Guru. Tuan Guru yang pada awalnya seorang ulama
dengan memegang nilai tradisi agung leluhur mungkin kini sudah agak sedikit
bergeser secara fungsi kedudukannya. Tak lagi hanya memimpin umat dalam
mengajarkan agama tetapi dalam filem ini juga memperlihatakan keterlibatan
seorang Tuan Guru dalam memimpin acara aneka lomba anak di desanya. Menonton
filem di komputer hingga bermain HP sambil mengaji membuat filem ini mencoba
berusaha mendefinisikan kembali arti Tuan Guru. Filem ini juga melihatkan
bagaimana seorang pemuda lokal yang juga mempunyai silsilah keturunan Tuan
Guru. Lombok yang menjadi objek wisata dunia membuatnya lebih memilih menjadi
pelukis dibanding harus mengikuti leluhurnya. Latar tempat macam berugaq, menjadi
tempat perbincangan sosial mengenai keadaan di Lombok waktu lampau dan
sekarang. Hadirnya kebudayaan tradisi
lokal acara nikahan (Mendjojo) juga dihadirkan dalam filem ini, yangmana
sedikit sudah bercampur dengan modernitas. Salah satu hal yang memungkinkan
membuat si Tuan Guru sekarang di Lombok Utara memiliki sikap lebih modernis,
tidak tradisionalis.
0 komentar:
Posting Komentar